BAB
I
Gagasan
dan Penyusunan Kebijakan Publik
Di Indonesia kebijakan sentralistis
mempunyai riwayat panjang. Bahkan bisa dikatakan bahwa sejarah
kebijakan ekonomi di negeri ini sebagian besar adalah sejarah tentang
bagaimana birokrasi Negara merumuskan dan memainkan perannya dalam
menciptakan pasar. Pemerintah dan system politik berganti-ganti, tapi
hubungan Negara dan pasar relative hanay sedikit berubah.
Richard Robison, menjelaskan bahwa sejarah
Indonesia merupakan sejarah merupakan sejarah kapitalisme yang
berkembang dan berubah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan dalam
proses histroris ini Negara memainkan peran sangat penting. Kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa terjadinya liberalisasi menandakan bahwa
kompetisi pengaruh dalam proses kebijakan pada akhirnya dimenangkan
oleh kapitalisme internasional. Tekanan modal global agaknya terlalu
kuat untuk dilawan oleh Negara maupun oleh borjuasi domestic.
Rizal Malaranggeng dalam buku ini ingin
menekankan pada apa yang disebut oleh Isaiah Berlin sebagai the
freedom of human action, interdeterminisme
dalam memandang tindakan dan perilaku actor-aktor di apnggung sejarah
(1975: 41-188), sehingga perhatian saya lebih tertuju pada pentingnya
peran para pelaku dan proses politik.
BAB
II
Latar
Belakang Sejarah: Kebijakan Ekonomi Orde Baru Sebelum 1966
Mohammad Hatta atau Prof Sumitro
Djojohadikusumo, kaum elite Indonesia pasca-Revolusi, yang
lingkarannya sebenarnya sangat kecil, selalu ada kecenderungan untuk
terus menerus mengandalkan intervensi ekonomi Negara. Mereka
senantiasa memandang dengan penuh curiga pada proses perdagangan dan
bekerjanya system ekonomi pasar. Dalam hal ini bisa dikatakan sejarah
intelektual Indonesia sampai awal 1960-an sangat diwarnai oleh
perkawinan antara nasionalisme dan sosialisme, dalam berbagai bentuk.
Widjojo, menyerukan kepada pemerintah untuk
lebih menghormati hukum-hukum ekonomi dan realitas ekonomi yang
relatih otonom. Beserta kawan-kawannya, Widjojo menjadi salah satu
pengkritik system ekonomi Soekarno yang paling dihormati dan menjadi
konseptor paling jernih tentang perlunay serangkaian kebijakan baru
bagi orde mendatang.
Terkesan dengan gagasan, Widjojo dan
kawan-kawannya saat menyusun naskah mengenai jalan keluar untuk
menstabilkan dan merehabilitasi perekonomian bangsa. Soeharto
memanggilnya secara peribadi untuk mengadakan pertemuan dan diskusi.
Sang penguasa baru ini yang telah menggantikan Soekarno atau Orde
Lama ingin mempelajari lebih dalam berbagai gagasan dan usulan mereka
– dan tak lama kemudian mereka diangkat sebagai penasihat ahli.
Kebijakan ekonomi Orde baru dari 1966
sampai sekitar awal 1980-an bercabang dua. Pada tahun-tahun awal
orientasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh semangat untuk membuka
diri ke luar, mendorong langkah-langkah rehabilitasi dan liberalisasi
ekonomi. Para pelaku utama yang mendorong kebijakan semacam ini
disebut sebagai kaum teknokrat, yaitu Widjojo dan kawan-kawannya.
Mereka, yang sering pula dijuluki serbagai the
Berkeley Mafia, yakin bahwa
perekonomian warisan pemerintah Soekarno yang bobrok hanya dapat
diperbaiki dengan menghormati hukum-hukum ekonomi, menyehatkan peran
mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perdagangan dunia. Mereka
tidak menentang peran aktif Negara dalam perekonomian, namun mereka
yakin bahwa intervensi Negara harus meningkatkan kinerja pasar dengan
mengikuti berbagai ketentuan rasionalitas ekonomi.
Pemerintahan Soeharto yang paling awal
mengirim kawat kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia
berisi pesan bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya.
Demikianlah, tim pertama IMF tiba di Indonesia, dan bulan berikutnya
menyusul tim Bank Dunia. Keputusan untuk menghidupkan kembali
hubungan dengan lembaga liberal Bretton Woods tersebut diambil bukan
hanya karena tim ekonomi Soeharto memerlukan bantuan teknis dalam
menyusun rencana yang masuk akal, tetapi juga, dan ini yang
terpenting, karena pemerintah baru ingin menunjukkan kseungguhannya
dalam membuka diri pada komunitas keuangan dunia.
Sebelum era bonanza minyak pada awal
1970-an, Intergovernmental Group On Indonesia (IGGI) memberikan
ruang bernafas yang lebih lega bagi tim ekonomi Orde Baru – harus
diingat bahwa pada tahun 1967 jumlah bantuan luar negeri mencapai 30
persen dari total pengeluaran pemerintah untuk menelurkan berbagai
kebijakan ekonomi yang secara politik cukup mengandung risiko.
Dalam garis besarnya kebijakan ekonomi Orde
baru dari 1966 sampai 1973 menunjukkan bahwa gagasan Widjojo
dilaksanakan dengan relatif sungguh-sungguh. Pintu perekonomian
Indonesia dibuka, investor asing disambut baik, suplai uang stabil,
nilai tukar “dibebaskan”, dan sector perbankan direformasi.
Hasilnya sangat mengesankan: pada akhir 1960-an inflasi dapat
dikendalikan, penanaman modal asing dan dalam negeri melonjak,
kredibilitas bank-bank Negara pulih, dan produksi secara keseluruhan
meningkat.
Pada maret 1973, ketika Soeharto terpilih
kembali untuk menjadi presiden yang kedua kalinya, terbit harapan di
beberapa kalangan akan munculnya gerakan yang lebih besar menuju
liberali ekonomi, semacam Liberalisasi Tahap Kedua yang menjangkau
berbagai bidang ekonomi yang sejauh itu masih belum terjamah.
Oleh karena itu mereka mencoba menyakinkan
pemerintah maupun rakyat bahwa strategi Widjojo harus diganti dengan
strategi yang lebih meningkatkan kepentingan bisnis kaum pribumi,
meningkatkan pemerataa pendapatan, melindungi pasar dalam negeri, dan
lain-lain.Harapan itu bukannya tanpa dasar. Soeharto, ketika
membentuk kebinetnya yang kedua, telah meningkatkan peran kaum
teknokrat dan member mereka lebih banyak jabatan formal yang memiliki
kewenangan formal dalam menangani berbagai masalah ekonomi.
Posisi-posisi baru tersebut mengisyaratkan kemenangan poltik Widjojo
dan kawan-kawannya.
Selain itu kedudukan baru mereka juga
mengisyaratkan bahwa Soeharto, yang secara bertahap berhasil
mengkonsolidasikan kekuasaan politiknya pada awal dan pertengahan
1970-an, sudah semakin percaya pada kaum teknokrat dan telah
memutuskan bahwa arah kebijakan ekonomi pasca-1966 akan terus
dilanjutkan.
Ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
Ketika kaum teknokrat memperoleh “kemenangan politik” pada skala
belum pernah mereka capai sebelumnya, berbagai kritik dan sikap
permusuhan terhadap peran dan berbagai gagasan mereka mengenai
pembangunan serta kebijakan liberalisasi ekonomi mulai muncul, dan
dengan cepat memuncak. Sebelumnya, saat Wdijojo dan kawan-kawan masih
dianggap sebagai orang universitas, perumus-perumus kebijakan yang
berasal dari “luar system”, dengan tugas utama memberikan
berbagai nasihat professional kepada sang penguasa, mahasiswa dan
kaum cendekiawan menganggap mereka sebagai pahlawan, wakil-wakil
mereka sendiri di dalam Pemerintah Orde baru. Dengan posisi seperti
itu mereka terhindar dari berbagai kecaman pedas apabila kaum
cendekiawan dan mahasiswa memprotes kebijakan pemerintah.
Demikianlah, dengan berjalannya waktu,
semakin terlihat jelas bahwa mereka dan strategi pembangunan yang
mereka perjaungkan menjadi salah satu target utama dari berbagai
protes mahasiswa dan kaum cendekiawan, yang mencapai puncaknya pada
peristiwa Malari.
Sarbini Sumawinata termasuk kelompok Hatta,
mengusulkan agar sentralisme pembangunan Indonesia diperkuat serta
dikelola berdasarkan strategi industry substitusi-impor (ISI), suatu
strategi yang waktu itu memang sedang populer di Negara-negara sedang
berkembang.
Kritiknya terhadap kaum teknokrat,
sebagaimana yang juga disampaikan oleh Hatta, didasarkan pada
pandangannnya bahwa mereka (kaum teknokrat) telah mendorong Indonesia
terlalu jauh menempuj jalan kapitalis, yang akan membuat masyarakat
menjadi kapitalis, suatu masyarakat yang pada dasarnya serba
tidak adil.
Kaum cendekiawan dan aktivis mahasiswa menyakinkan masyarakat bahwa
berbagai program yang dijalankan oleh Widjojo telah membawa Indonesia
masuk terlalu jauh ke dalam liberalisme ekonomi. Program-program
tersebut, kata para pengkritiknya, semakin memperlebar jurang sosial
dan ekonomi serta menyebabkan Indonesia didominasi oleh pihak asing.
Mochtar Lubis yang juga termasuk dalam
Kelompok Empat Hatta, Sarbini, dan Soedjatmoko, mampu
mengkomunikasikan berbagai pesan dengan bahasa yang sederhana dan
tajam sehingga menarik perhatian dan dukungan masyarakat, baik secara
intelektual maupun emosional.
Pendek kata, pihak yang merebut perhatian
dan mempengaruhi wacana intelektual saat itu adalah Kelompok Empat.
Berbagai kritik mereka disebarkan secara luas oleh berbagai koran
terkemuka, terutama Indonesia
Raya, Pedoman, Merdeka, Ekspress, serta,
yang agak lebih lunak, Kompas,
dan
Tempo.
Momentum baru terjadi diantara kritik yang
membucah dan membuat kaum teknokrat dan pemerintah Soharto keder.
Yakni kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka, 12 Januari 1974.
Jepang dianggap liberalisme karena perusahaa-perusahaannya membuka
hotel-hotel dan perakitan mobil di Jakarta, pada saat yang sama
Amerika menanamkan investasinya yang lebih dari Jepang, mengeruk
sumur-sumur minyak di lepas pantai dan menambang emas di hutan-hutan
Irian. Siapa yang peduli dengna minyak di lepas pantai dan emas di
Hutan. Investasi Amerika tidak terlihat secara kasat mata, namun
Jepang sangat jelas.
Inilah alasan perusahaan-perusahaan Jepang
dijadikan target perusakan Mahasiswa di Jakarta dan “masyarakat”
– tumpah dijalan disusul dengan kerusuhan missal, pembakaran, dan
pembunuhan. Pusat kota Jakarta seketika mati berfungsi selama dua
hari. Hampir 1.000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, dan 144 gedung
dibakar atau dirusak, Sembilan orang meninggal, lebih seratus cedera,
dan 820 ditangkap (Bresnan, 1993: 137). Peristiwa ini dikenal sebagai
Peristiwa Malari – Malapetaka 15 Januari.
Setelah Malari meledak beberapa cendekiawan
dan pemimpin mahasiswa memang dikirim ke bui, tetapi gagasan dan
tuntutan mereka diakomodasi. Pada tingkat tertentu berbagai gagasan
kritis mereka, dalam rumusan Kuhn, berubah menjadi paradigma
kebijakan ekonomi baru. Oleh karena itulah arah kebijakan Orde Baru
pasca-Malari berubah cukup mendasar.
Hatta, Sarbini, Soedjatmoko, Mochtar Lubis,
serta para cendekiawan muda dari berbagai kampus, dengan cara-cara
mereka sendiri berhasil menyakinkan Soeharto dan beberapa tokoh kunci
di dalam pemerintahnya bahwa kebijakan ekonomi liberal akan
menimbulkan beban politik yang terlalu besar bila dilaksanakan lebih
jauh. Sebagian dari para pengkritik itu dikirim ke penjara, tetapi
gagasan dan kritik mereka tidak.
Dibidang keuangan dan moneter kecenderungan
sentralistis semakin terasa terasa ketika kaum cendekiawan mulai
mengkritik pemerintah dan gencar menuntut bantuan keuangan yang lebi
langsung bagi pengusaha pribumi berskala kecil dan penghentian
dominasi ekonomi keturunan Tionghoa.
Perubahan tersebut juga dimungkinkan oleh
munculnya bonanza minyak. Sebagai salah satu Negara pengekspor minyak
terpenting Indonesia menikmati rezeki nomplok berupa kenaikan harga
minyak pada 1973. Dengan uang minyak yang melimpah, pemerintah berada
dalam kondisi keuangan yang amat baik untuk melaksanakan kebijakan
baru yang sentralisiis.
Kebijakan baru tersebut meliputi bidang
yang luas. Di sektor keuangan dan moneter beragam jenis kredit baru
yang bertujuan memabntu pengusaha pribumi diluncurkan. Operasi
bank-bank swasta dan asing lebih dibatasi, dan pembatasan plafon
kredit kembali diberlakukan. Di sektor perdagangan dan investasi
pelarangan dan pembatasan juga diperluas. Di sektor industri strategi
ISI dilaksanakan dengan semangat menggebu dan pada saat yang sama
proyek-proyek padat-modal diperluas dan didorong dengan
sunguh-sungguh.
Semua itu mengubah gambaran perekonomian
Indonesia. Negeri ini mulai menapaki jalan industrialisasi, dan pada
saat yang sama intervensi Negara di bidang ekonomi menjadi lebih
intensif. Pada awal 1980-an pemerintah secara efektif menguasai porsi
terbesar dari berbagai sektor ekonomi terpenting serta mengawasi dan
mengatur pasar domestic secara ketat.
BAB
III
Menemukan
Kembali Pasar: Krisis dan Reaksi Kaum Teknokrat
Setelah ekspansi sentralisme berlangsung
hampir satu dasawarsa, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang
semakin berat, yakni ketika harga minyak jatuh pada awal 1980-an.
Dampak kejatuhan ini, ditambah resesi ringan yang terjadi secara
global, menyentuh hampir semua aspek kehidupan perekonomian
Indonesia. Pemerintah, yang waktu itu telah menjadi agen utama
pembangunan, sangat bergantung pada ekspor minyak untuk membiayai
berbagai programnya menggiring pemerintah ke sudut yang sangat
sempit.
Bagi rezim yang menggantungkan
legitimasinya pada keberhasilan pembangunan ekonomi keadaan tersebut
tak bisa dianggap enteng. Pada 1980 Soeharto sudah semakin dominan.
Dengan kokoh dia mengendalikan pemerintahan terpusat dan memimpin
masyarakat yang kurang-lebih stabil, sebab dia dan pemeritahnya
relative telah berhasil memberikan “telur emas”. Oleh karena itu
ketika keberhasilan ekonomi Orde Baru terancam ia harus mengambil
sejumlah langkah baru dan mengkaji kembali kebijakannya. Dalam hal
inilah kita bisa berkata bahwa pintu kesempatan untuk mengubah
kebijakan Orde Baru terkuak ketika harga minyak mulai jatuh.
Masa-masa sulit, dengan kata lain, merupakan berkah terselubung yang
memungkinkan terjadinya reorentasi kebijakan ekonomi.
Kendati demikian pintu kesempatan yang
terbuka itu, bagaimanapun, tidak akan bermakna apa-apa tanpa peran
kaum teknokrat. Merekalah yang menangkap peluang dan menyakinkan
berbagai pihak bahwa kebijakan sentralistis sudah gagal. Oleh karena
itu suatu resep baru, yaitu deregulasi atau liberalisasi ekonomi,
dibutuhkan.
Para teknokrat memebrikan sumbangan mereka
dari dalam pemerintahan, Kendati selama ekspansi sentralistis yang
berlangsung setelah peristiwa Malari mereka diberi kedudukan tinggi
di dalam pemerintahan, pengaruh mereka dalam menentukan arah
kebijakan ekonomi, khususnya di bidang industry, perbankan, dan
perdagangan, justruu semakin melemah. Dengan dukungan penuh dari
Soeharto, pendukung sentralisme berada di atas angin. Keadaan berubah
ketika masa-masa yang sulit muncul. Para teknokrat mengerti bahwa
Soeharto dan pemerintahnya memerlukan mereka untuk mencari jalan
keluar. Sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya pada 1965-1967,
kali ini pun mereka menangkap peluang itu. merekalah actor-aktor di
panggung kebijakan yang paling bertanggungjawab dalam menyakinkan
Soeharto dan tokoh-tokoh pemerintahan lainnya bahwa perekonomian
Indonesia akan menjadi lebih baik jika kebijakan baru diterapkan.
BAB
IV
Menabur
Gagasan: Komunitas Epistemis Liberal dan Perannya
Kaum teknokrat, betapapun pentingnya peran
mereka, secara politis sangat terikat: mereka adalah bagian dari
Pemerintah Soeharto. Oleh karena itu, mereka tidak bisa menjadi
technopols, dalam
istilah john Williamson (1994). Mereka harus dengan senang hati
mengerjakan pekerjaan mereka di bawah baying-bayang Soeharto,
dibelakang layar. Jadi mereka tak bisa secara terbuka membangun atau
memperbesar pengikut mereka dengan mendiskreditkan
kebijakan-kebijakan lama yang sudah lewat zamannya atau
berargumentasi untuk mempetahankan kebijakan-kebijakan baru. Apabila
mereka terlalu sering tampil di depan umum, atau kelihatan terlalu
bersemangat membela gagasan-gagasan mereka, atau menjadi terlalu
populer, Soeharto pasti akan mempersulit uapaya mereka untuk mengubah
arah kebijakan ekonomi.
Itulah sebabnya mengapa peran jaringan
komunitas epistemis liberal, yang saat itu tumbuh cukup pesat,
menjadi penting. Anggota komunitas ini menjadi satu-satunya kelompok
yang berperan dalam mendiskreditkan orientasi kebijakan warisan zaman
terdahulu, memperdebatkan sentralisme, dan menjelaskan kepada
masyarakat berbagai masalah ekonomi fundamental serta solusi
kebijakan liberal. Dengan kata lain bukan para indusrialis, kaum
kapitalis, para banker, atau kelas menengah pada umumnya yang
mengusulkan atau maju ke depan mempertahankan solusi beru terhadap
berbagai masalah mendesak yang muncul saat itu. yang melakukannya
adalah para ekonom, intelektual, penulis, dan wartawan.
Mereka memulai upaya mereka pada 1983, dan
momentum intelektual yang paling besar muncul pada 1985. Sejak itu,
sampai sekitar 1987, gagasan-gagasan mereka, mengutip rumusan Kuhn,
menjadi the normal science.
Pada saat itu juga respon intelektual mereka terhadap berbagai
persoalan yang menjepit Indonesia memperoleh sambutan yang lebih
besar dari public yang memungkinkan para teknokrat mengubah kebijakan
ekonomi pemerintah dengan kecepatan tinggi.
BAB
V
Liberalisasi
Ekonomi: Jangkauan dan Keterbatasannya
Pada awal 1980-an, ketika harga minyak
mulai jatuh, arah kebijakan ekonomi di Indonesia tidak menentu. Kaum
pendukung sentralisme ekonomi masih berada di atas angin dalam proses
penyusunan kebijakan, sementara kaum teknokrat baru mulai menyadari
bahwa Indonesia memerlukan suatu terobosan untuk menyelesaikan
berbagai masalah yang ada. Sepanjang periode ini terjadi peningkatan
kebijakan sentralistis, seperti perizinan, kuota, dan hambatan
nontariff lainnya. Pihak yang terutama diuntungkan oleh kebijakan
tersebut adalah perusahaan-perusahaan Negara dan swasta yang telah
membangun hubungan erat dengan elite politik dan birokrasi. Walau
sentralisme meningkat, harus pula dikatakan bahwa kecenderungan
dengan arah yang berbeda juga mulai muncul. Hal ini, misalnya, bisa
dibuktikan dengan adanya reformasi perbankan pada 1983.
Perubahan kebijakan yang menentukan
akhirnya terjadi pada 1985 dan 1986, ketika kaum teknokrat berhasil
menghapuskan dinas bea-cukai dan menjalankan deregulasi di bidang
perdagangan serta melanjutkan langkah-langkah reformasi di sektor
perbankan. Setelah pergesaran kebijakan yang substansial tersebut,
berbagai paket kebijakan baru dilahrikan selama tiga tahun
berturut-turut. Semua ini merupakan puncak dari gelombang
liberalisasi ekonomi di Indonesia. Sektor-sektor yang paling terkena
dampak langkah-langkah baru tersebut adalah sektor perdagangan,
keuangan, dan perbankan.
Tak ada cerita dalam sejarah di mana satu
Negara berhasil menjungkirbalikkan system ekonominya secara
fundamental tanpa menghadapi perlawanan yang besar maupun
dilema-dilema yang sulit. Indonesia tidak terkecuali. Perlawanan
terhadap liberalisasi ekonomi datang dari dua kubu:
perusahaan-perusahaan Negara serta perusahaan-perusahaan pencari
rente yang perluasan bisnisnya terutama dimungkinkan karena hubungan
mereka yang erat dengan elite di tubuh pemerintah. Terhadap
perlawanan kedua kubu ini Widjojo dan kawan-kawannya tak dapat
berbuat banyak.
Kendati demikian, terlepas dari masalah
itu, apda akhir 1980-an kebijakan deregulasi menghasilkan dampak yang
penting bagi perekonomian Indonesia. Didorong antara lain oleh
pertumbuhan pesat ekspor nonmigas, tingkat pertumbuhan ekonomi
meroket sekali lagi. Hambatan perdagangan dikurangi, sementara sektor
keuangan dan perbankan diliberalisasikan secara radikal, yang
hasilnya bahkan mengejutkan kaum pendukung kebijakan ekonomi liberal
yang paling optimis sekalipun.
Lebih dari itu, kebijakan deregulasi juga
memiliki pengaruh tertentu di luar bidang perekonomian. Kebijakan
tersebut mempengaruhi keseimbangan antara Negara dan pasar. Peran
Negara menurun, sementara peran pasar meningkat. Hal ini, menurut
saya, dalam jangka panjang adalah hasil terpenting dari seluruh
proses pergesaran kebijakan yang dibicarakan dalam buku ini. selam
kecenderugnan positif ini tidak berbalik secara radikal, pergeseran
keseimbangan Negara-pasar akan menjadi basis sosio-ekonomi bagi
Indonesia untuk membangun system pemerintahan yang terbuka dan
bertanggungjawab di tahun-tahun mendatang.
Di bidang kebudayaan dan ideology, terjadi
pula berbagai perubahan yang menarik. Pada akhir 1980-an banyak hal
yang bisa dikatakan untuk menggambarkan bahwa konstituen kebiakan
ekonomi liberal semakin melebar. Semakin banyak kalangan dalam
masyarakat yang menyadari bahwa sampai pada batas tertentu mekanisme
pasar bukanlah sebuah mekanisme yang secara alamiah jahat dan
menindas. Benar bahwa masih belum jelas seberapa jauh gagasan seperti
ini bisa mengakar lebih dalam. Tetapi yang terpenting, tanda-tanda
awal bagi penerimaan suatu gagasan yang relative baru dalam tradisi
intelektual Indonesia sudah mulai muncul. Dengan pemimpin dan kondisi
yang tepat, gagasan baru ini bisa semakin menguat di tahun-tahun
mendatang.
BAB
VI
Tantangan
baru: 1990-1992
Setelah mencapai pucaknya pada 1989, proses
deregulasi melemah, pada periode 1990-1992 arah kebijakan ekonomi
lebih tak pasti. Kelompok Widjojo melancarkan beberapa inisiatif
liberal yang penting, namun terjadi pula berbagai peristiwa yang
menunjukkan bahwa langkah-langkah sentralistis yang bertentangan
dengan semangat liberalisasi mulai marak lagi.
Faktor-faktor yang berada di balik arah
kebijakan yang berubah-ubah itu bersumber pada interaksi antara
gagasan, kepentingan, dan politik. Pada arah gagasan, ketidakpuasan
terhadap para teknokrat dan kebijakan mereka berkembang semakin luas
pada periode 1990-1992. Proses liberalisasi dekonomi dianggap telah
melahirkan monster baru, para konglomerat, yang sebagian besar adalah
keturunan Tionghoa. Hal itu demikian tuduhan para pengkritik, sangat
mempersempit peluang bagi usaha kecil untuk berkembang. Akibatnya
kesenjangan ekonomi antara si Kaya dan mayoritas penduduk yang miskin
semakin tak dapat di tolerir. Untuk menjawab tantangan bari itu para
teknokrat dan anggota komunitas epistemis liberal bimbang. Tidak
seperti periode sebelumnya, kini mereka tampak tak mampu tampil
dengan berbagai argument yang masuk akal dan menyakinkan. Jadi, dari
perspektif tersebtu terjadinya ambivalensi dalam arah kebijakan
ekonomi Orde Baru disebabkan oleh kegagalan intelektual: koalisi
liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para
pengkritik mereka.
Bertambah gencaranya kritik terhadap
kebijakan liberalisasi itu, antara lain, yang dipakai oleh Soeharto
sebagai dalih untuk mulai menempuh jalannya sendiri dan melangkahi
arah kebijakan yang telah digariskan oleh para menteri ekonominya.
Dengan mengambil langkah-langkahnya sendiri tanpa berkonsultasi
dengan Widjojo dkk., Soeharto selam periode tersebut tampak lebih
nasinalistis dan mendukung tuntutan keadilan ekoonmi. Tokoh Orde baru
nomor satu tersebut semakin sering membuka peluang bagi lawan-lawan
kaum teknorat dalam proses penyusunan kebijakan.
Tidak sukar untuk mengerti bahwa langkah
Soeharto itu seiring dengan kepentingan politik dan strateginya untuk
terus berkuasa, pada saat jaringan bisnis keluarganya semakin
menggurita. Soeharto, apapun kelemahan yang ada padanya, adalah
seorang politikus yang lihai, dengan penciuman yang tajam untuk
mengerti arah angin. Dia ingin terus berkuasa, sekalipun sudah 25
tahun. Demi mencapai tujuan tersebut, dia tak ragu mengikat tangan
orang-orang yang telah membantunya selama bertahun-tahun, termasuk
para teknokratnya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar