Selasa, 01 Mei 2012

Resume; Rizal Malaranggeng - Mendobrak Sentralisme Ekonomi (1986-1992)

BAB I

Gagasan dan Penyusunan Kebijakan Publik

Di Indonesia kebijakan sentralistis mempunyai riwayat panjang. Bahkan bisa dikatakan bahwa sejarah kebijakan ekonomi di negeri ini sebagian besar adalah sejarah tentang bagaimana birokrasi Negara merumuskan dan memainkan perannya dalam menciptakan pasar. Pemerintah dan system politik berganti-ganti, tapi hubungan Negara dan pasar relative hanay sedikit berubah.

Richard Robison, menjelaskan bahwa sejarah Indonesia merupakan sejarah merupakan sejarah kapitalisme yang berkembang dan berubah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan dalam proses histroris ini Negara memainkan peran sangat penting. Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa terjadinya liberalisasi menandakan bahwa kompetisi pengaruh dalam proses kebijakan pada akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme internasional. Tekanan modal global agaknya terlalu kuat untuk dilawan oleh Negara maupun oleh borjuasi domestic.

Rizal Malaranggeng dalam buku ini ingin menekankan pada apa yang disebut oleh Isaiah Berlin sebagai the freedom of human action, interdeterminisme dalam memandang tindakan dan perilaku actor-aktor di apnggung sejarah (1975: 41-188), sehingga perhatian saya lebih tertuju pada pentingnya peran para pelaku dan proses politik.


BAB II

Latar Belakang Sejarah: Kebijakan Ekonomi Orde Baru Sebelum 1966

Mohammad Hatta atau Prof Sumitro Djojohadikusumo, kaum elite Indonesia pasca-Revolusi, yang lingkarannya sebenarnya sangat kecil, selalu ada kecenderungan untuk terus menerus mengandalkan intervensi ekonomi Negara. Mereka senantiasa memandang dengan penuh curiga pada proses perdagangan dan bekerjanya system ekonomi pasar. Dalam hal ini bisa dikatakan sejarah intelektual Indonesia sampai awal 1960-an sangat diwarnai oleh perkawinan antara nasionalisme dan sosialisme, dalam berbagai bentuk.

Widjojo, menyerukan kepada pemerintah untuk lebih menghormati hukum-hukum ekonomi dan realitas ekonomi yang relatih otonom. Beserta kawan-kawannya, Widjojo menjadi salah satu pengkritik system ekonomi Soekarno yang paling dihormati dan menjadi konseptor paling jernih tentang perlunay serangkaian kebijakan baru bagi orde mendatang.

Terkesan dengan gagasan, Widjojo dan kawan-kawannya saat menyusun naskah mengenai jalan keluar untuk menstabilkan dan merehabilitasi perekonomian bangsa. Soeharto memanggilnya secara peribadi untuk mengadakan pertemuan dan diskusi. Sang penguasa baru ini yang telah menggantikan Soekarno atau Orde Lama ingin mempelajari lebih dalam berbagai gagasan dan usulan mereka – dan tak lama kemudian mereka diangkat sebagai penasihat ahli.

Kebijakan ekonomi Orde baru dari 1966 sampai sekitar awal 1980-an bercabang dua. Pada tahun-tahun awal orientasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh semangat untuk membuka diri ke luar, mendorong langkah-langkah rehabilitasi dan liberalisasi ekonomi. Para pelaku utama yang mendorong kebijakan semacam ini disebut sebagai kaum teknokrat, yaitu Widjojo dan kawan-kawannya. Mereka, yang sering pula dijuluki serbagai the Berkeley Mafia, yakin bahwa perekonomian warisan pemerintah Soekarno yang bobrok hanya dapat diperbaiki dengan menghormati hukum-hukum ekonomi, menyehatkan peran mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perdagangan dunia. Mereka tidak menentang peran aktif Negara dalam perekonomian, namun mereka yakin bahwa intervensi Negara harus meningkatkan kinerja pasar dengan mengikuti berbagai ketentuan rasionalitas ekonomi.

Pemerintahan Soeharto yang paling awal mengirim kawat kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia berisi pesan bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya. Demikianlah, tim pertama IMF tiba di Indonesia, dan bulan berikutnya menyusul tim Bank Dunia. Keputusan untuk menghidupkan kembali hubungan dengan lembaga liberal Bretton Woods tersebut diambil bukan hanya karena tim ekonomi Soeharto memerlukan bantuan teknis dalam menyusun rencana yang masuk akal, tetapi juga, dan ini yang terpenting, karena pemerintah baru ingin menunjukkan kseungguhannya dalam membuka diri pada komunitas keuangan dunia.

Sebelum era bonanza minyak pada awal 1970-an, Intergovernmental Group On Indonesia (IGGI) memberikan ruang bernafas yang lebih lega bagi tim ekonomi Orde Baru – harus diingat bahwa pada tahun 1967 jumlah bantuan luar negeri mencapai 30 persen dari total pengeluaran pemerintah untuk menelurkan berbagai kebijakan ekonomi yang secara politik cukup mengandung risiko.

Dalam garis besarnya kebijakan ekonomi Orde baru dari 1966 sampai 1973 menunjukkan bahwa gagasan Widjojo dilaksanakan dengan relatif sungguh-sungguh. Pintu perekonomian Indonesia dibuka, investor asing disambut baik, suplai uang stabil, nilai tukar “dibebaskan”, dan sector perbankan direformasi. Hasilnya sangat mengesankan: pada akhir 1960-an inflasi dapat dikendalikan, penanaman modal asing dan dalam negeri melonjak, kredibilitas bank-bank Negara pulih, dan produksi secara keseluruhan meningkat.

Pada maret 1973, ketika Soeharto terpilih kembali untuk menjadi presiden yang kedua kalinya, terbit harapan di beberapa kalangan akan munculnya gerakan yang lebih besar menuju liberali ekonomi, semacam Liberalisasi Tahap Kedua yang menjangkau berbagai bidang ekonomi yang sejauh itu masih belum terjamah.

Oleh karena itu mereka mencoba menyakinkan pemerintah maupun rakyat bahwa strategi Widjojo harus diganti dengan strategi yang lebih meningkatkan kepentingan bisnis kaum pribumi, meningkatkan pemerataa pendapatan, melindungi pasar dalam negeri, dan lain-lain.Harapan itu bukannya tanpa dasar. Soeharto, ketika membentuk kebinetnya yang kedua, telah meningkatkan peran kaum teknokrat dan member mereka lebih banyak jabatan formal yang memiliki kewenangan formal dalam menangani berbagai masalah ekonomi. Posisi-posisi baru tersebut mengisyaratkan kemenangan poltik Widjojo dan kawan-kawannya.

Selain itu kedudukan baru mereka juga mengisyaratkan bahwa Soeharto, yang secara bertahap berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan politiknya pada awal dan pertengahan 1970-an, sudah semakin percaya pada kaum teknokrat dan telah memutuskan bahwa arah kebijakan ekonomi pasca-1966 akan terus dilanjutkan.

Ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Ketika kaum teknokrat memperoleh “kemenangan politik” pada skala belum pernah mereka capai sebelumnya, berbagai kritik dan sikap permusuhan terhadap peran dan berbagai gagasan mereka mengenai pembangunan serta kebijakan liberalisasi ekonomi mulai muncul, dan dengan cepat memuncak. Sebelumnya, saat Wdijojo dan kawan-kawan masih dianggap sebagai orang universitas, perumus-perumus kebijakan yang berasal dari “luar system”, dengan tugas utama memberikan berbagai nasihat professional kepada sang penguasa, mahasiswa dan kaum cendekiawan menganggap mereka sebagai pahlawan, wakil-wakil mereka sendiri di dalam Pemerintah Orde baru. Dengan posisi seperti itu mereka terhindar dari berbagai kecaman pedas apabila kaum cendekiawan dan mahasiswa memprotes kebijakan pemerintah.

Demikianlah, dengan berjalannya waktu, semakin terlihat jelas bahwa mereka dan strategi pembangunan yang mereka perjaungkan menjadi salah satu target utama dari berbagai protes mahasiswa dan kaum cendekiawan, yang mencapai puncaknya pada peristiwa Malari.

Sarbini Sumawinata termasuk kelompok Hatta, mengusulkan agar sentralisme pembangunan Indonesia diperkuat serta dikelola berdasarkan strategi industry substitusi-impor (ISI), suatu strategi yang waktu itu memang sedang populer di Negara-negara sedang berkembang.

Kritiknya terhadap kaum teknokrat, sebagaimana yang juga disampaikan oleh Hatta, didasarkan pada pandangannnya bahwa mereka (kaum teknokrat) telah mendorong Indonesia terlalu jauh menempuj jalan kapitalis, yang akan membuat masyarakat menjadi kapitalis, suatu masyarakat yang pada dasarnya serba tidak adil. Kaum cendekiawan dan aktivis mahasiswa menyakinkan masyarakat bahwa berbagai program yang dijalankan oleh Widjojo telah membawa Indonesia masuk terlalu jauh ke dalam liberalisme ekonomi. Program-program tersebut, kata para pengkritiknya, semakin memperlebar jurang sosial dan ekonomi serta menyebabkan Indonesia didominasi oleh pihak asing.

Mochtar Lubis yang juga termasuk dalam Kelompok Empat Hatta, Sarbini, dan Soedjatmoko, mampu mengkomunikasikan berbagai pesan dengan bahasa yang sederhana dan tajam sehingga menarik perhatian dan dukungan masyarakat, baik secara intelektual maupun emosional.

Pendek kata, pihak yang merebut perhatian dan mempengaruhi wacana intelektual saat itu adalah Kelompok Empat. Berbagai kritik mereka disebarkan secara luas oleh berbagai koran terkemuka, terutama Indonesia Raya, Pedoman, Merdeka, Ekspress, serta, yang agak lebih lunak, Kompas, dan Tempo.

Momentum baru terjadi diantara kritik yang membucah dan membuat kaum teknokrat dan pemerintah Soharto keder. Yakni kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka, 12 Januari 1974. Jepang dianggap liberalisme karena perusahaa-perusahaannya membuka hotel-hotel dan perakitan mobil di Jakarta, pada saat yang sama Amerika menanamkan investasinya yang lebih dari Jepang, mengeruk sumur-sumur minyak di lepas pantai dan menambang emas di hutan-hutan Irian. Siapa yang peduli dengna minyak di lepas pantai dan emas di Hutan. Investasi Amerika tidak terlihat secara kasat mata, namun Jepang sangat jelas.

Inilah alasan perusahaan-perusahaan Jepang dijadikan target perusakan Mahasiswa di Jakarta dan “masyarakat” – tumpah dijalan disusul dengan kerusuhan missal, pembakaran, dan pembunuhan. Pusat kota Jakarta seketika mati berfungsi selama dua hari. Hampir 1.000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, dan 144 gedung dibakar atau dirusak, Sembilan orang meninggal, lebih seratus cedera, dan 820 ditangkap (Bresnan, 1993: 137). Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Malari – Malapetaka 15 Januari.

Setelah Malari meledak beberapa cendekiawan dan pemimpin mahasiswa memang dikirim ke bui, tetapi gagasan dan tuntutan mereka diakomodasi. Pada tingkat tertentu berbagai gagasan kritis mereka, dalam rumusan Kuhn, berubah menjadi paradigma kebijakan ekonomi baru. Oleh karena itulah arah kebijakan Orde Baru pasca-Malari berubah cukup mendasar.

Hatta, Sarbini, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, serta para cendekiawan muda dari berbagai kampus, dengan cara-cara mereka sendiri berhasil menyakinkan Soeharto dan beberapa tokoh kunci di dalam pemerintahnya bahwa kebijakan ekonomi liberal akan menimbulkan beban politik yang terlalu besar bila dilaksanakan lebih jauh. Sebagian dari para pengkritik itu dikirim ke penjara, tetapi gagasan dan kritik mereka tidak.

Dibidang keuangan dan moneter kecenderungan sentralistis semakin terasa terasa ketika kaum cendekiawan mulai mengkritik pemerintah dan gencar menuntut bantuan keuangan yang lebi langsung bagi pengusaha pribumi berskala kecil dan penghentian dominasi ekonomi keturunan Tionghoa.

Perubahan tersebut juga dimungkinkan oleh munculnya bonanza minyak. Sebagai salah satu Negara pengekspor minyak terpenting Indonesia menikmati rezeki nomplok berupa kenaikan harga minyak pada 1973. Dengan uang minyak yang melimpah, pemerintah berada dalam kondisi keuangan yang amat baik untuk melaksanakan kebijakan baru yang sentralisiis.

Kebijakan baru tersebut meliputi bidang yang luas. Di sektor keuangan dan moneter beragam jenis kredit baru yang bertujuan memabntu pengusaha pribumi diluncurkan. Operasi bank-bank swasta dan asing lebih dibatasi, dan pembatasan plafon kredit kembali diberlakukan. Di sektor perdagangan dan investasi pelarangan dan pembatasan juga diperluas. Di sektor industri strategi ISI dilaksanakan dengan semangat menggebu dan pada saat yang sama proyek-proyek padat-modal diperluas dan didorong dengan sunguh-sungguh.

Semua itu mengubah gambaran perekonomian Indonesia. Negeri ini mulai menapaki jalan industrialisasi, dan pada saat yang sama intervensi Negara di bidang ekonomi menjadi lebih intensif. Pada awal 1980-an pemerintah secara efektif menguasai porsi terbesar dari berbagai sektor ekonomi terpenting serta mengawasi dan mengatur pasar domestic secara ketat. 
 

BAB III

Menemukan Kembali Pasar: Krisis dan Reaksi Kaum Teknokrat

Setelah ekspansi sentralisme berlangsung hampir satu dasawarsa, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang semakin berat, yakni ketika harga minyak jatuh pada awal 1980-an. Dampak kejatuhan ini, ditambah resesi ringan yang terjadi secara global, menyentuh hampir semua aspek kehidupan perekonomian Indonesia. Pemerintah, yang waktu itu telah menjadi agen utama pembangunan, sangat bergantung pada ekspor minyak untuk membiayai berbagai programnya menggiring pemerintah ke sudut yang sangat sempit.

Bagi rezim yang menggantungkan legitimasinya pada keberhasilan pembangunan ekonomi keadaan tersebut tak bisa dianggap enteng. Pada 1980 Soeharto sudah semakin dominan. Dengan kokoh dia mengendalikan pemerintahan terpusat dan memimpin masyarakat yang kurang-lebih stabil, sebab dia dan pemeritahnya relative telah berhasil memberikan “telur emas”. Oleh karena itu ketika keberhasilan ekonomi Orde Baru terancam ia harus mengambil sejumlah langkah baru dan mengkaji kembali kebijakannya. Dalam hal inilah kita bisa berkata bahwa pintu kesempatan untuk mengubah kebijakan Orde Baru terkuak ketika harga minyak mulai jatuh. Masa-masa sulit, dengan kata lain, merupakan berkah terselubung yang memungkinkan terjadinya reorentasi kebijakan ekonomi.

Kendati demikian pintu kesempatan yang terbuka itu, bagaimanapun, tidak akan bermakna apa-apa tanpa peran kaum teknokrat. Merekalah yang menangkap peluang dan menyakinkan berbagai pihak bahwa kebijakan sentralistis sudah gagal. Oleh karena itu suatu resep baru, yaitu deregulasi atau liberalisasi ekonomi, dibutuhkan.

Para teknokrat memebrikan sumbangan mereka dari dalam pemerintahan, Kendati selama ekspansi sentralistis yang berlangsung setelah peristiwa Malari mereka diberi kedudukan tinggi di dalam pemerintahan, pengaruh mereka dalam menentukan arah kebijakan ekonomi, khususnya di bidang industry, perbankan, dan perdagangan, justruu semakin melemah. Dengan dukungan penuh dari Soeharto, pendukung sentralisme berada di atas angin. Keadaan berubah ketika masa-masa yang sulit muncul. Para teknokrat mengerti bahwa Soeharto dan pemerintahnya memerlukan mereka untuk mencari jalan keluar. Sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya pada 1965-1967, kali ini pun mereka menangkap peluang itu. merekalah actor-aktor di panggung kebijakan yang paling bertanggungjawab dalam menyakinkan Soeharto dan tokoh-tokoh pemerintahan lainnya bahwa perekonomian Indonesia akan menjadi lebih baik jika kebijakan baru diterapkan.


BAB IV

Menabur Gagasan: Komunitas Epistemis Liberal dan Perannya

Kaum teknokrat, betapapun pentingnya peran mereka, secara politis sangat terikat: mereka adalah bagian dari Pemerintah Soeharto. Oleh karena itu, mereka tidak bisa menjadi technopols, dalam istilah john Williamson (1994). Mereka harus dengan senang hati mengerjakan pekerjaan mereka di bawah baying-bayang Soeharto, dibelakang layar. Jadi mereka tak bisa secara terbuka membangun atau memperbesar pengikut mereka dengan mendiskreditkan kebijakan-kebijakan lama yang sudah lewat zamannya atau berargumentasi untuk mempetahankan kebijakan-kebijakan baru. Apabila mereka terlalu sering tampil di depan umum, atau kelihatan terlalu bersemangat membela gagasan-gagasan mereka, atau menjadi terlalu populer, Soeharto pasti akan mempersulit uapaya mereka untuk mengubah arah kebijakan ekonomi.

Itulah sebabnya mengapa peran jaringan komunitas epistemis liberal, yang saat itu tumbuh cukup pesat, menjadi penting. Anggota komunitas ini menjadi satu-satunya kelompok yang berperan dalam mendiskreditkan orientasi kebijakan warisan zaman terdahulu, memperdebatkan sentralisme, dan menjelaskan kepada masyarakat berbagai masalah ekonomi fundamental serta solusi kebijakan liberal. Dengan kata lain bukan para indusrialis, kaum kapitalis, para banker, atau kelas menengah pada umumnya yang mengusulkan atau maju ke depan mempertahankan solusi beru terhadap berbagai masalah mendesak yang muncul saat itu. yang melakukannya adalah para ekonom, intelektual, penulis, dan wartawan.

Mereka memulai upaya mereka pada 1983, dan momentum intelektual yang paling besar muncul pada 1985. Sejak itu, sampai sekitar 1987, gagasan-gagasan mereka, mengutip rumusan Kuhn, menjadi the normal science. Pada saat itu juga respon intelektual mereka terhadap berbagai persoalan yang menjepit Indonesia memperoleh sambutan yang lebih besar dari public yang memungkinkan para teknokrat mengubah kebijakan ekonomi pemerintah dengan kecepatan tinggi.


BAB V

Liberalisasi Ekonomi: Jangkauan dan Keterbatasannya

Pada awal 1980-an, ketika harga minyak mulai jatuh, arah kebijakan ekonomi di Indonesia tidak menentu. Kaum pendukung sentralisme ekonomi masih berada di atas angin dalam proses penyusunan kebijakan, sementara kaum teknokrat baru mulai menyadari bahwa Indonesia memerlukan suatu terobosan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Sepanjang periode ini terjadi peningkatan kebijakan sentralistis, seperti perizinan, kuota, dan hambatan nontariff lainnya. Pihak yang terutama diuntungkan oleh kebijakan tersebut adalah perusahaan-perusahaan Negara dan swasta yang telah membangun hubungan erat dengan elite politik dan birokrasi. Walau sentralisme meningkat, harus pula dikatakan bahwa kecenderungan dengan arah yang berbeda juga mulai muncul. Hal ini, misalnya, bisa dibuktikan dengan adanya reformasi perbankan pada 1983.

Perubahan kebijakan yang menentukan akhirnya terjadi pada 1985 dan 1986, ketika kaum teknokrat berhasil menghapuskan dinas bea-cukai dan menjalankan deregulasi di bidang perdagangan serta melanjutkan langkah-langkah reformasi di sektor perbankan. Setelah pergesaran kebijakan yang substansial tersebut, berbagai paket kebijakan baru dilahrikan selama tiga tahun berturut-turut. Semua ini merupakan puncak dari gelombang liberalisasi ekonomi di Indonesia. Sektor-sektor yang paling terkena dampak langkah-langkah baru tersebut adalah sektor perdagangan, keuangan, dan perbankan.

Tak ada cerita dalam sejarah di mana satu Negara berhasil menjungkirbalikkan system ekonominya secara fundamental tanpa menghadapi perlawanan yang besar maupun dilema-dilema yang sulit. Indonesia tidak terkecuali. Perlawanan terhadap liberalisasi ekonomi datang dari dua kubu: perusahaan-perusahaan Negara serta perusahaan-perusahaan pencari rente yang perluasan bisnisnya terutama dimungkinkan karena hubungan mereka yang erat dengan elite di tubuh pemerintah. Terhadap perlawanan kedua kubu ini Widjojo dan kawan-kawannya tak dapat berbuat banyak.

Kendati demikian, terlepas dari masalah itu, apda akhir 1980-an kebijakan deregulasi menghasilkan dampak yang penting bagi perekonomian Indonesia. Didorong antara lain oleh pertumbuhan pesat ekspor nonmigas, tingkat pertumbuhan ekonomi meroket sekali lagi. Hambatan perdagangan dikurangi, sementara sektor keuangan dan perbankan diliberalisasikan secara radikal, yang hasilnya bahkan mengejutkan kaum pendukung kebijakan ekonomi liberal yang paling optimis sekalipun.

Lebih dari itu, kebijakan deregulasi juga memiliki pengaruh tertentu di luar bidang perekonomian. Kebijakan tersebut mempengaruhi keseimbangan antara Negara dan pasar. Peran Negara menurun, sementara peran pasar meningkat. Hal ini, menurut saya, dalam jangka panjang adalah hasil terpenting dari seluruh proses pergesaran kebijakan yang dibicarakan dalam buku ini. selam kecenderugnan positif ini tidak berbalik secara radikal, pergeseran keseimbangan Negara-pasar akan menjadi basis sosio-ekonomi bagi Indonesia untuk membangun system pemerintahan yang terbuka dan bertanggungjawab di tahun-tahun mendatang.

Di bidang kebudayaan dan ideology, terjadi pula berbagai perubahan yang menarik. Pada akhir 1980-an banyak hal yang bisa dikatakan untuk menggambarkan bahwa konstituen kebiakan ekonomi liberal semakin melebar. Semakin banyak kalangan dalam masyarakat yang menyadari bahwa sampai pada batas tertentu mekanisme pasar bukanlah sebuah mekanisme yang secara alamiah jahat dan menindas. Benar bahwa masih belum jelas seberapa jauh gagasan seperti ini bisa mengakar lebih dalam. Tetapi yang terpenting, tanda-tanda awal bagi penerimaan suatu gagasan yang relative baru dalam tradisi intelektual Indonesia sudah mulai muncul. Dengan pemimpin dan kondisi yang tepat, gagasan baru ini bisa semakin menguat di tahun-tahun mendatang.


BAB VI

Tantangan baru: 1990-1992

Setelah mencapai pucaknya pada 1989, proses deregulasi melemah, pada periode 1990-1992 arah kebijakan ekonomi lebih tak pasti. Kelompok Widjojo melancarkan beberapa inisiatif liberal yang penting, namun terjadi pula berbagai peristiwa yang menunjukkan bahwa langkah-langkah sentralistis yang bertentangan dengan semangat liberalisasi mulai marak lagi.

Faktor-faktor yang berada di balik arah kebijakan yang berubah-ubah itu bersumber pada interaksi antara gagasan, kepentingan, dan politik. Pada arah gagasan, ketidakpuasan terhadap para teknokrat dan kebijakan mereka berkembang semakin luas pada periode 1990-1992. Proses liberalisasi dekonomi dianggap telah melahirkan monster baru, para konglomerat, yang sebagian besar adalah keturunan Tionghoa. Hal itu demikian tuduhan para pengkritik, sangat mempersempit peluang bagi usaha kecil untuk berkembang. Akibatnya kesenjangan ekonomi antara si Kaya dan mayoritas penduduk yang miskin semakin tak dapat di tolerir. Untuk menjawab tantangan bari itu para teknokrat dan anggota komunitas epistemis liberal bimbang. Tidak seperti periode sebelumnya, kini mereka tampak tak mampu tampil dengan berbagai argument yang masuk akal dan menyakinkan. Jadi, dari perspektif tersebtu terjadinya ambivalensi dalam arah kebijakan ekonomi Orde Baru disebabkan oleh kegagalan intelektual: koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka.

Bertambah gencaranya kritik terhadap kebijakan liberalisasi itu, antara lain, yang dipakai oleh Soeharto sebagai dalih untuk mulai menempuh jalannya sendiri dan melangkahi arah kebijakan yang telah digariskan oleh para menteri ekonominya. Dengan mengambil langkah-langkahnya sendiri tanpa berkonsultasi dengan Widjojo dkk., Soeharto selam periode tersebut tampak lebih nasinalistis dan mendukung tuntutan keadilan ekoonmi. Tokoh Orde baru nomor satu tersebut semakin sering membuka peluang bagi lawan-lawan kaum teknorat dalam proses penyusunan kebijakan.

Tidak sukar untuk mengerti bahwa langkah Soeharto itu seiring dengan kepentingan politik dan strateginya untuk terus berkuasa, pada saat jaringan bisnis keluarganya semakin menggurita. Soeharto, apapun kelemahan yang ada padanya, adalah seorang politikus yang lihai, dengan penciuman yang tajam untuk mengerti arah angin. Dia ingin terus berkuasa, sekalipun sudah 25 tahun. Demi mencapai tujuan tersebut, dia tak ragu mengikat tangan orang-orang yang telah membantunya selama bertahun-tahun, termasuk para teknokratnya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar