Ragam
budaya maritim di Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Aneka rupa budaya
dan kearifan lokal tercipta di tiap daerah. Setidaknya ada satu persamaan dalam
budaya maritim Indonesia, yakni menaruh pandangan tentang pengelolaan laut yang
diorientasikan guna kepentingan bersama (komunitas masyarakat) dengan dasar
keyakinan absolut (Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa) yang dicapai lewat
proses ikhtiar manusia.
Kejayaan
maritim Nusantara sudah berlangsung sejak Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di
bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil
menguasai dan mempersatukan nusantara. Bahkan pengaruhnya sampai ke
negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam,
India, Filipina, dan Tiongkok. Irawan Djoko Nugroho (2011) dalam bukunya
Majapahit: “Peradaban Maritim memaparkan
betapa besarnya kekuatan maritim Indonesia kala itu. Diceritakan bahwa Kerajaan
Majapahit memiliki kapal sejumlah 2.800 buah, lebih banyak hampir tiga kalinya
daripada kapal-kapal milik Kubilai Khan yang hanya sejumlah 1.000 buah ketika
melakukan penyerangan ke Jawa. Kapalnya pun bukan kapal-kapal kecil, tapi kapal
yang besar. Bahkan menjadi kapal paling besar di dunia pada jamannya.”
Ulasan
sejarah itu memberikan gambaran betapa hebatnya kemampuan kerajaan nusantara
dahulu untuk menyatukan wilayah. Keunggulan dalam hal pertahanan lewat armada
perang laut, perdagangan antar pulau, dan manajemen transportasi laut membawa Kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya menjadi pusat panutan di bidang maritim, kebudayaan,
dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Budaya
maritim Indonesia melahirkan karya nyata, yakni perahu yang begitu kokoh untuk
mengarungi samudra hingga sampai ke Madagaskar. Para pakar sejarah maritim
menduga perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh
sebelum bukti tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan
ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana
perunggu di berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa akhir prasejarah telah dikenal
adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia daratan.
Bukti
tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut
tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi). Pada prasasti
tersebut diberitakan; ”Dapunta Hiya?
bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan
perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu…”. Pada masa yang sama, dalam relief
Candi Borobudur (abad ke 7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan
perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-bentuk perahu atau
kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat nusantara, seperti
Sumatera.
Ketangguhan
pelaut nusantara dalam menjelajah samudra diperkuat dengan bukti ditemukannya
bekas Kerajaan Marina yang didirikan perantau nusantara di Madagaskar. Pengaruh
dan kekuasaan itu diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun
kapal dan armada yang dapat berlayar lebih dari 4.000 mil. Tidak heran jika
Presiden Indonesia Joko Widodo memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia.
Budaya
maritim Indonesia dapat dibedah lewat artian daripada definisi budaya itu
sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1980) budaya memiliki artian, “Keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia yang dijadikan milik dirinya melalui proses belajar”.
Sedangkan kata maritim merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu maritime.
Dalam kamus bahasa inggris, Oxford Advanced Learner’s for Dictionaries (2010)
kata maritime diartikan, “connecting to sea or near the sea”.
Yang artinya berarti menghubungkan ke laut atau dekat laut.
Kata maritime
secara etimologis sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu maritimus
atau mare yang artinya adalah laut. Dapat kita katakan bahwa sebuah
susunan kata yang didalamnya terdapat kata maritim itu berhubungan dengan laut.
Tafsiran
daripada budaya adalah terbentuk atas usaha milik kolektif, karena budaya
menjadi sebuah nilai yang disepakati dan dijalani secara bersama-sama oleh
sekelompok orang. Maka budaya maritim adalah keseluruhan gagasan yang mampu
menghasilkan tindakan dan perilaku yang menjadi milik suatu kolektif yang tinggal
dan hidup dekat dengan laut. Pembahasan tentang hal itu akan membawa kita pada
lanskap dari tatanan masyarakat yang hidup dengan kultur melaut.
Kemudahan
yang didapat dari budaya maritim adalah berlayar. Aktivitas ini menjadikan
manusia dapat menempuh perjalanan dengan jarak jauh yang nantinya mempertemukan
bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia, karena dunia itu sebenarnya adalah
satu dan saling terhubung antara satu tempat dengan yang lain. Seperti yang
diujarkan oleh Erick Wolf dalam bukunya Europe and People without History: “…the
world of humankind constitutes a manifold, a totality of interconnected process…”,
(Wolf, 1994:4).
Maknanya,
laut adalah alat pemersatu bagi bangsa-bangsa di dunia terlebih negara
kepulauan seperti Indonesia dan Jepang. Menurut Laksamana TNI Agus Hartono,
makna laut bagi bangsa Indonesia yakni laut sebagai medium transportasi, laut
sebagai medium kesejahteraan, dan laut sebagai medium pertahanan. Tanpa laut,
tak ada bangsa Indonesia dan tanpa bangsa Indonesia, maka tak ada negara
Indonesia. Dengan demikian bukan sesuatu yang berlebihan apabila dikatakan
bahwa sifat hakiki negara Indonesia adalah maritim.
Laut
sebagai medium transportasi berfungsi sebagai penghubung pulau-pulau di
Indonesia. Laut sebagai medium kesejahteraan erat berkaitan dengan aktivitas
dagang serta pemanfaatan kekayaan laut Indonesia. Hal ini ditunjang dengan laut
sebagai medium pertahanan untuk ditempuhnya langkah-langkah strategis oleh TNI
AL berdasarkan UNCLOS maupun deklarasi Djuanda.
Terdapat
dua faktor penunjang laut sebagai medium pertahanan. Pertama, pembangunan
kekuatan dengan menetapkan kebijakan pembangunan kekuatan pokok minimun
(minimun essential force/MEF) sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
Kementrian Pertahanan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin stabilitas keamanan
kawasan. Kedua, menggelar kekuatan yang melibatkan unsur-unsur kapal perang
berdasarkan tingkat kerawanan masing-masing perairan terutama wilayah yang
dinilai rawan akan ancaman terhadap kedaulatan dan pelanggaran hukum. Faktor
penunjang tersebut tak lain untuk menjaga stabilitas ekonomi, karena laut
merupakan life line–nya bangsa Indonesia. TNI AL menjaga stabilitas
keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia karena posisi geostrategis
Indonesia yang rentan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal.
Pada
kenyataannya, kelemahan masih belum bisa ditutupi, seperti maritime domain
awareness yang belum memadai dan berkembang merata ke berbagai pihak.
Sehingga menyebabkan kelemahan Indonesia dalam budaya maritim maupun kearifan
lokal.
Penutup
Pola pikir
agamis tumbuh dan terbentuk atas pola berpikir bangsa Indonesia dalam hal
melaut. Hal ini karena pelaut menaruh keyakinan akan hasil melaut kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Orientasi pemenuhan
kebutuhan hidup, pengembangan kesejahteraan, dan menata pemukiman serta tradisi
mengelola alam untuk menyeimbangkan lingkungan yang ada menjadi skala prioritas
masyarakat pesisir.
Mereka
memiliki tantangan bagaimana membangun sektor ini supaya dapat mengangkat
harkat dan martabat hidup masyarakat pesisir terkait dengan sumber daya
kelautan yang tersedia. Kendala yang ditemui dalam manajemen pengembangan
masyarakat pesisir meliputi tiga masalah yaitu : masalah sosial ekonomi rumah
tangga nelayan, penyebab masyarakat pesisir tidak dapat berkembang dan
sejahtera, dan bagaimana caranya untuk menutupi kedua hal itu.
Pemerintah
lewat visi Presiden Joko Widodo yang menjadikan Indonesia sebagai poros maritim
dunia harus mampu menangani ketiga problema tersebut. Isu yang sudah dibahas
dalam KTT APEC 2014 di Tiongkok, lawatan Tiongkok dan Jerman ke Indonesia untuk
pembahasan bidang maritim dan teknologinya, serta kesepakatan yang dilakukan di
forum G-20 tidak menjadi sekedar wacana atau jargon Kabinet Kerja semata.
Semoga ini
menjadi awal kebangkitan budaya maritim, terutama soal pola berpikir maritim.
Semoga!
*)Maulana Yusuf, Penulis adalah penggiat budaya diskusi
0 komentar:
Posting Komentar