Selasa, 25 November 2014

Budaya dan Problema Maritim di Indonesia

Ragam budaya maritim di Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Aneka rupa budaya dan kearifan lokal tercipta di tiap daerah. Setidaknya ada satu persamaan dalam budaya maritim Indonesia, yakni menaruh pandangan tentang pengelolaan laut yang diorientasikan guna kepentingan bersama (komunitas masyarakat) dengan dasar keyakinan absolut (Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa) yang dicapai lewat proses ikhtiar manusia.
Kejayaan maritim Nusantara sudah berlangsung sejak Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Bahkan pengaruhnya sampai ke negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, dan Tiongkok. Irawan Djoko Nugroho (2011) dalam bukunya Majapahit: “Peradaban Maritim memaparkan betapa besarnya kekuatan maritim Indonesia kala itu. Diceritakan bahwa Kerajaan Majapahit memiliki kapal sejumlah 2.800 buah, lebih banyak hampir tiga kalinya daripada kapal-kapal milik Kubilai Khan yang hanya sejumlah 1.000 buah ketika melakukan penyerangan ke Jawa. Kapalnya pun bukan kapal-kapal kecil, tapi kapal yang besar. Bahkan menjadi kapal paling besar di dunia pada jamannya.”
Ulasan sejarah itu memberikan gambaran betapa hebatnya kemampuan kerajaan nusantara dahulu untuk menyatukan wilayah. Keunggulan dalam hal pertahanan lewat armada perang laut, perdagangan antar pulau, dan manajemen transportasi laut membawa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya menjadi pusat panutan di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Budaya maritim Indonesia melahirkan karya nyata, yakni perahu yang begitu kokoh untuk mengarungi samudra hingga sampai ke Madagaskar. Para pakar sejarah maritim menduga perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia daratan.
Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi). Pada prasasti tersebut diberitakan; ”Dapunta Hiya? bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu…”. Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke 7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-bentuk perahu atau kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat nusantara, seperti Sumatera.
Ketangguhan pelaut nusantara dalam menjelajah samudra diperkuat dengan bukti ditemukannya bekas Kerajaan Marina yang didirikan perantau nusantara di Madagaskar. Pengaruh dan kekuasaan itu diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun kapal dan armada yang dapat berlayar lebih dari 4.000 mil. Tidak heran jika Presiden Indonesia Joko Widodo memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Budaya maritim Indonesia dapat dibedah lewat artian daripada definisi budaya itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1980) budaya memiliki artian, “Keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dijadikan milik dirinya melalui proses belajar”. Sedangkan kata maritim merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu maritime. Dalam kamus bahasa inggris, Oxford Advanced Learner’s for Dictionaries (2010) kata maritime diartikan, “connecting to sea or near the sea”. Yang artinya berarti menghubungkan ke laut atau dekat laut.
Kata maritime secara etimologis sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu maritimus atau mare yang artinya adalah laut. Dapat kita katakan bahwa sebuah susunan kata yang didalamnya terdapat kata maritim itu berhubungan dengan laut.
Tafsiran daripada budaya adalah terbentuk atas usaha milik kolektif, karena budaya menjadi sebuah nilai yang disepakati dan dijalani secara bersama-sama oleh sekelompok orang. Maka budaya maritim adalah keseluruhan gagasan yang mampu menghasilkan tindakan dan perilaku yang menjadi milik suatu kolektif yang tinggal dan hidup dekat dengan laut. Pembahasan tentang hal itu akan membawa kita pada lanskap dari tatanan masyarakat yang hidup dengan kultur melaut.
Kemudahan yang didapat dari budaya maritim adalah berlayar. Aktivitas ini menjadikan manusia dapat menempuh perjalanan dengan jarak jauh yang nantinya mempertemukan bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia, karena dunia itu sebenarnya adalah satu dan saling terhubung antara satu tempat dengan yang lain. Seperti yang diujarkan oleh Erick Wolf dalam bukunya Europe and People without History: “…the world of humankind constitutes a manifold, a totality of interconnected process…”, (Wolf, 1994:4).
Maknanya, laut adalah alat pemersatu bagi bangsa-bangsa di dunia terlebih negara kepulauan seperti Indonesia dan Jepang. Menurut Laksamana TNI Agus Hartono, makna laut bagi bangsa Indonesia yakni laut sebagai medium transportasi, laut sebagai medium kesejahteraan, dan laut sebagai medium pertahanan. Tanpa laut, tak ada bangsa Indonesia dan tanpa bangsa Indonesia, maka tak ada negara Indonesia. Dengan demikian bukan sesuatu yang berlebihan apabila dikatakan bahwa sifat hakiki negara Indonesia adalah maritim.
Laut sebagai medium transportasi berfungsi sebagai penghubung pulau-pulau di Indonesia. Laut sebagai medium kesejahteraan erat berkaitan dengan aktivitas dagang serta pemanfaatan kekayaan laut Indonesia. Hal ini ditunjang dengan laut sebagai medium pertahanan untuk ditempuhnya langkah-langkah strategis oleh TNI AL berdasarkan UNCLOS maupun deklarasi Djuanda.
Terdapat dua faktor penunjang laut sebagai medium pertahanan. Pertama, pembangunan kekuatan dengan menetapkan kebijakan pembangunan kekuatan pokok minimun (minimun essential force/MEF) sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kementrian Pertahanan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin stabilitas keamanan kawasan. Kedua, menggelar kekuatan yang melibatkan unsur-unsur kapal perang berdasarkan tingkat kerawanan masing-masing perairan terutama wilayah yang dinilai rawan akan ancaman terhadap kedaulatan dan pelanggaran hukum. Faktor penunjang tersebut tak lain untuk menjaga stabilitas ekonomi, karena laut merupakan life line–nya bangsa Indonesia. TNI AL menjaga stabilitas keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia karena posisi geostrategis Indonesia yang rentan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal.
Pada kenyataannya, kelemahan masih belum bisa ditutupi, seperti maritime domain awareness yang belum memadai dan berkembang merata ke berbagai pihak. Sehingga menyebabkan kelemahan Indonesia dalam budaya maritim maupun kearifan lokal.
Penutup
Pola pikir agamis tumbuh dan terbentuk atas pola berpikir bangsa Indonesia dalam hal melaut. Hal ini karena pelaut menaruh keyakinan akan hasil melaut kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Orientasi pemenuhan kebutuhan hidup, pengembangan kesejahteraan, dan menata pemukiman serta tradisi mengelola alam untuk menyeimbangkan lingkungan yang ada menjadi skala prioritas masyarakat pesisir.
Mereka memiliki tantangan bagaimana membangun sektor ini supaya dapat mengangkat harkat dan martabat hidup masyarakat pesisir terkait dengan sumber daya kelautan yang tersedia. Kendala yang ditemui dalam manajemen pengembangan masyarakat pesisir meliputi tiga masalah yaitu : masalah sosial ekonomi rumah tangga nelayan, penyebab masyarakat pesisir tidak dapat berkembang dan sejahtera, dan bagaimana caranya untuk menutupi kedua hal itu.
Pemerintah lewat visi Presiden Joko Widodo yang menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia harus mampu menangani ketiga problema tersebut. Isu yang sudah dibahas dalam KTT APEC 2014 di Tiongkok, lawatan Tiongkok dan Jerman ke Indonesia untuk pembahasan bidang maritim dan teknologinya, serta kesepakatan yang dilakukan di forum G-20 tidak menjadi sekedar wacana atau jargon Kabinet Kerja semata.
Semoga ini menjadi awal kebangkitan budaya maritim, terutama soal pola berpikir maritim. Semoga!

*)Maulana Yusuf, Penulis adalah penggiat budaya diskusi

Kebudayaan Suku Biak : Sebuah Tinjauan Kebudayaan Laut Sebagai Strategi Membangun Penyerbukan Silang Antarbudaya

Pulau Biak, Provinsi Papua
Oleh; Adityo Nugroho

Istilah “kebudayaan laut” atau sering dikenal sebagai “kebudayaan bahari” merupakan suatu cara pandang atau gagasan yang berangkat dari laut sebagai tempat hidup manusia/masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Menurut Tung Ju Lan dalam bukunya “Kebudayaan Dalam Perspektif Bahari Nusantara” menyebutkan Kebudayaan bahari terdiri dari bagian/ unsur-unsurnya saling terkait membentuk satu kesatuan menyeluruh (holistic). Unsur-unsur tersebut berupa sistem-sistem ideasional/ kognitif/ mental (gagasan, pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, moral, emosi, perasaan kolektif, refleksi/intropeksi diri, dan intuisi), bahasa, kelompok/organisasi sosial, ekonomi teknologi, seni dan religi yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. 
Dalam tulisan ini, kebudayaan suku Biak di Papua menjadi contoh suku di Indonesia yang memiliki kebudayaan bahari sesuai dengan ciri-ciri yang sudah dijelaskan diatas. Dari karakteristik tersebut, suku Biak memiliki peranan yang tinggi dalam proses pengintegrasian Papua (dahulu Irian Barat) ke dalam Indonesia. Sehingga terdapat suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara Papua khususnya suku Biak dengan suku-suku lainnya di Indonesia.
Karakteristik suku Biak itu ditinjau juga dari perspektif sejarah sampai dengan tinjauan kultural secara perkawinan dengan suku-suku lainnya. Sehingga melahirkan suatu akulturasi budaya yang indah dengan tidak meninggalkan kebudayaan asli suku Biak sendiri. Justru fenomena ini menambah khazanah budaya suku Biak yang merupakan suku pelaut dan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Praktis penyerbukan silang akan terjadi antara lintas budaya suku Biak dengan suku-suku lainnya di Nusantara yang kemudian melahirkan sautu ikatan yang kuat menjadi suatu bangsa yang tinggal diantara dua benua dan dua samudera.
Suku Biak menjadi penghubung dari hubungan kultural antara suku Biak khususnya dan suku-suku di Irian pada umumnya dengan suku-suku lainnya di nusantara.
Hubungan kultural ini yang kemudian menjadi proses integrasi antara Indonesia dengan Irian yang akhirnya, Irian menjadi suatu daerah yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Dan kepulauan Indonesia menjadi suatu chain circleyang saling kait mengkait satu sama lain.
Pada Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, tepatlah kemudian jika laut dijadikan sebagai pemersatu bukan pemisah. Karena tinjauan historis dan antropologis yang akhirnya ditetapkan menjadi suatu perangkat hukum formal oleh negara bahkan dunia internasional.
Kebudayaan laut yang dimiliki oleh suku-suku di Indonesia sudah seharusnya dilestarikan dan dikembangkan menjadi suatu strategi dalam penyerbukan silang antarbudaya guna mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.Mengingat di masa ini persatuan dan kesatuan kita berada di ujung tanduk, terutama di Papua yang lebih dari satu dekade terakhir selalu menyisakan konflik horizontal dan vertikal yang mengkerucut pada pemisahan diri dari NKRI.

Tan Malaka Dalam Biografi



“Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas” 

Ibrahim adalah nama asli dari Datuk Tan Malaka, gelar yang diberikannya setelah kelulusan pada tahun 1913 lewat suatu upacara tradisional. Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur ini merupakan tamatan Kweekschool Bukit Tinggi (sekolah guru negara) dan melanjutkan sekolahnya di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), Belanda.
Pemikiran Tan Malaka tentang revolusi, merdeka 100%, konsep MADILOG (Materialis, dialektika, dan logika) berawal dari bangku kuliah di Belanda. Keterkejutan budaya pernah dialami Tan Malaka. Semasa itu, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie yang diberikan Horensma guru di Kweekschool sebelum keberangkatannya ke Belanda. Setelah revolusi Rusia meletus pada Oktober 1917, seorang Tan makin tertarik pada komunisme dan sosialime. Ia membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Salah satu yang menjadi panutannya adalah Friedrich Nietzsche.
Lelaki kelahiran Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat ini kembali ke Hindia Belanda (Sebutan Indonesia pada masa itu) untuk menerima tawaran dari Dr. C. W. Janssen untuk mengajar di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Pada Desember 1919 ia mulai mengajarkan anak-anak kuli perkebunan bahasa Melayu pada Januari 1920. Selain itu, ia pun menulis propaganda yang dikenal dengan Deli Spoor yang berisi tentang kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.
Madilog dan Gerpolek adalah karya penting dari Tan Malaka. Madilog mengenalkan istilah baru dalam cara berpikir, yakni dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Gerpolek (Gerilya-politik dan ekonomi) adalah simpul dari karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, negara, politik, ekonomi, sosial, budaya sampai militer. Buku terbita 1948 ini memunculkan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Gagasan Tan Malaka perlu disadur oleh kita sebagai anak bangsa yang menginginkan Indonesia Merdeka 100%. Menurutnya, hanya pendidikan rakyat yang jelas yang merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Gagasa itu tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya bahkan dunia.
Tan Malaka terbunuh di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 19 Februari 1949. Sebagian besar hidupnya dalam pengusiran dan pembuangan di luar Indonesia. Namun, berbagai penting tak bias kita lupakan dari sosok revolusioner ini. Kepemimpinannya teruji dalam berbagai organisasi dan partai. Sempat mendirikan partai PARI pada tahun 1927 dan Partai Murba pada tahun 1948, hingga mendirikan sekolah serta mengajar di China pada tahun 1936 dan sekolah tinggi Singapura. Ada hal yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,dimana peranan Tan Malaka dalam mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah masa pendudukan Jepang agar mencetuskan "Revolusi" yang tepatnya pada tanggal 17 Agustus.
Lewat Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret 1963, Pemerintah Indonesia menyatakan Tan Malaka sebagai pahlawan kemerdekaan nasional yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.

Engineers of Happy Land; Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni



Buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek merupakan buku sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Jika Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan mempengaruhi perubahan sosial.
Rudolf Mrazek berhasil mengungkapkan kejernihan analisis tentang kebebasan kolonialisme, nasionalisme, kesusastraan, revolusi dan kemanusiaan. Berbagai gambaran perkembangan transportasi (dari sepatu, pembangunan jalan, hingga adanya sepeda motor), arsitektur (dari bangunan penjara hingga hunian ber-AC), teknologi optik (dari fotografi hingga deteksi sidik jari), gaya hidup modern (baju dan pakaian), serta munculnya radio dan stasiunnya dideskripsikan secara analistis.
Dalam bukunya ini, Mrazek menganalisa peranan kolonial Belanda dalam membentuk 'bangsa' yang kini Indonesia. Bahwa, betapa modernitas dibawa masuk oleh Belanda ke Hindia ini. Mereka sepertinya beranggapan bahwa Nusantara ini sungguh seperti sehelai kertas yang masih bersih, sepetak kotak pasir yang bisa dibentuk dan dibangun sesuai kebutuhan untuk mengakomodasi koloni-koloni Eropa.
Mereka berusaha membangun replika rumah dan tanah air mereka di tanah koloni Hindia. Mereka membawa kemajuan teknologi dan penemuan termutakhir Eropa demi kenyamanan warga koloni mereka di tanah yang masih buas, liar, terbelakang, namun eksotis mempesona ini. Tetapi, kolonial Belanda rupanya tidak sadar--yang kemungkinan besar orang Indonesia sendiri juga tidak menyadarinya--bahwa penduduk pribumi Nusantara ini bukanlah idiot seperti yang disangkakan.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra, otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya. Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya yang terlihat ganjil.
Secara singkat penulis simpulkan bahwa tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam masyarakat Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu pada sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda, baik orang Indonesia maupun orang Belanda yang ada di Indonesia merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia. Gagasan dan gerakan nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.